halaman

Tuesday, August 08, 2006

kriteria kebahagiaan dunia


Anas bin Malik r.a. menerangkan, Rasulullah saw. senantiasa membiasakan diri membaca do'a: "Rabbanaa aatina fiddunya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa 'adzaabannar." (H.R. Bukhari). Alangkah indahnya apabila kita pun membiasakan diri membaca do'a ini. Orang setingkat nabi Muhammad saw. saja rajin membacanya, mengapa kita tidak?

Pertanyaannya, apakah yang dimaksud kebahagiaan dunia itu? Atau dengan kata lain, apakah indikator kebahagiaan dunia itu? Paling tidak, ada tujuh tanda kebahagiaan dunia, yaitu:

1. Hati Yang Selalu Syukur
Apabila kita selalu mensyukuri apa yang Allah swt. berikan, konsekuensinya kita akan selalu menerima dengan lapang dada ujian apa pun yang menimpa diri kita, sepahit dan sehebat apapun ujian tersebut. Oleh sebab itu, hati yang syukur menjadi kriteria kabahagiaan dunia, karena dengannya kita akan selalu syukur kalau ditimpa kebaikan dan akan sabar kalau ditimpa kesulitan. Bukankah sikap seperti ini yang akan membuat kita bahagia?

Abu Yahya Shuhaib bin Sinan r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh menakjubkan sikap seorang mukmin itu, segala keadaan dianggapnya baik dan hal ini tidak akan terjadi kecuali bagi seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan ia bersyukur maka itu lebih baik baginya, dan apabila ditimpa penderitaan ia bersabar maka itu lebih baik baginya.” (H.R.Muslim)

2. Jodoh yang Shaleh
Sungguh bahagia kalau kita punya jodoh yang shaleh, yang bisa menjadi penyejuk saat kita lelah menghadapi tantangan-tantangan hidup, menjadi penggembira saat kita sedih, dan menjadi pelindung saat kita menghadapi kesulitan. Jadi, mempunyai jodoh yang shaleh bisa dipastikan menjadi dambaan setiap orang. Namun, kenyataannya tak semudah yang kita harapkan, sebab Allah swt. telah menjadikan suami ataupun isteri menjadi batu ujian dalam kehidupan ini.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan berlapang dada dan kamu menutupi kesalahannya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taghabun 64: 14)

Jadi, walaupun jodoh yang shaleh itu menjadi dambaan kita, namun belum tentu kita mendapatkannya walau sudah berusaha sekuat tenaga. Bisa jadi, di antara kita ada yang diuji oleh isteri yang tidak shaleh seperti halnya nabi Nuh dan Luth a.s., atau diuji oleh suami yang tidak shaleh seperti halnya Asiah yang bersuamikan Fir'aun. Allah swt. menjelaskan hal ini dalam ayat berikut,

“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah pengawasan dua hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat (tidak mematuhi) suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat meolong kedua isterinya sedikit pun dari siksa Allah dan dikatakan: Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang memasukinya.”
“Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan terhadap orang-orang yang beriman, ketika dia berkata: Hai Tuhanku, dirikanlah bagiku di sisi-Mu satu rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”
(Q.S. At-Tahrim 66: 10-11)
Oleh sebab itu, kita harus berusaha dan berdo'a agar diberi jodoh yang shaleh sehingga bisa meraih kebahagiaan dunia.

3. Anak yang Shaleh
Di antara indikator kebahagiaan dan kesuksesan dunia adalah kita memiliki putera-puteri yang shaleh, yang bisa menjadi penyejuk hati orang tuanya. Anak merupakan titipan Allah swt. yang harus dirawat, dididik dengan serius dan penuh tanggung jawab. Allah swt. mengingatkan agar kita bisa melahirkan generasi yang memiliki kekuatan materi, intelektual, dan spiritual. Kita mesti merasa takut kalau kita meninggalkan genarasi yang lemah, baik lemah secara material, intelektual, ataupun spiritual.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan anak-anak yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka, maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisa 4: 9)

Selain sebagai titipan, anak pun merupakan batu ujian bagi kehidupan kita. “Sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah cobaan. Dan di sisi Allahlah pahala yang besar.” (Q.S. At-Taghabun 64:15).
Kalau kita sudah bersungguh-sungguh mendidiknya, namun ternyata anak tersebut tidak menjadi shaleh sesuai harapan kita, berarti kita sedang diuji Allah swt. dengan anak, seperti halnya Nabi Nuh a.s. yang telah bekerja keras mendidik anaknya yang bernama Kan'an, namun anaknya malah memusuhi ayahnya dan menentang ajaran-ajaran yang disampaikan ayahnya. Oleh sebab itu, bersyukurlah kalau kita memiliki anak yang shaleh, karena anak yang shaleh merupakan tanda kebahagiaan dunia.

4. Lingkungan Pergaulan yang Shaleh
Manusia adalah makhluk sosial, artinya dia tidak bisa hidup sendirian tanpa teman. Persahabatan atau pertemanan akan banyak mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan berbuat, sehingga ada keterangan yang menyebutkan Al Mushahabatu tasriqu Thabii'ah, artinya persahabatan itu suka mencuri tabiat. Maksudnya, dalam berinteraksi dengan teman sangat mungkin ada perilaku atau cara berpikir mereka yang diadopsi oleh kita, dan bisa juga sebaliknya.
Syukur-syukur kalau kita selalu mengadopsi cara berpikir dan berbuat orang lain yang positif. Yang dikhawatirkan, kalau yang kita adopsi dari mereka justru hal-hal negatif. Begitu pentingnya peranan sahabat atau lingkungan, sampai-sampai nabi Ibrahim a.s. pernah berdo'a, “Rabbi hablii hukman wa alhiqnii bishshalihin,” artinya: Ya Tuhanku, beri aku ilmu dan masukkan aku ke dalam lingkungan orang-orang shaleh. (Q.S. Asy-syu'ara 26: 83).
Tentu saja do'a ini bisa kita baca juga untuk meminta kepada Allah agar diberi teman atau lingkungan pergaulan yang baik. Beruntunglah kalau kita memiliki lingkungan pergaulan yang baik karena itu merupakan indikator kebaikan dunia.

5. Harta yang Halal
Manusia tidak bisa lepas dari kehidupan yang bersifat material, karena Allah swt. telah menetapkan fitrah kepada manusia untuk mencintai harta, sebagaimana firman-Nya:
“Dijadikan indah bagi manusia macam-macam yang dinginkannya, di antarnya wanita-wanita, anak-anak, harta yang melimpah berupa emas, perak, kuda (kendaraan) yang bagus, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan pada sisi Allah ada sebaik-baik tempat kembali (surga).” (Q.S. Ali Imran 3: 14)

Yang menjadi persoalan adalah cara mendapatkannya. Tidak sedikit orang yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta dengan asumsi bahwa harta yang banyak akan menjamin kebahagiaan dunia. Padahal, kebahagiaan sesungguhnya bukan diukur dari berapa banyaknya harta yang kita punya tapi seberapa halal kita mendapatkannya.

Sesungguhnya, maraknya korupsi dan manipulasi dipacu oleh asumsi bahwa kesuksesan dunia diukur dari banyaknya harta dan bukan dari aspek kehalalannya. Selama sebagian bangsa kita masih memikili asumsi seperti ini, maka praktik korupsi, kolusi, dan manipulasi lainnya akan tetap marak. Jadi, untuk menghapus praktik-praktik haram itu, paradigma berpikir tentang harta mesti diubah, bahwa kemuliaan seseorang bukan diukur dari banyaknya harta tapi ditentukan oleh seberapa halal cara mendapatkannya. Jadi, kriteria kebahagiaan dunia adalah harta yang halal bukan harta yang banyak, syukur-syukur harta kita itu halal dan banyak.

6. Ilmu yang Bermanfaat
Allah memberikan pada manusia sejumlah perangkat untuk mendapatkan ilmu, di antaranya pendengaran, penglihatan, dan akal, sebagaimana firman-Nya:
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, serta hati agar kamu bersyukur." (Q.S. An-Nahl 16: 78).
Yang dimaksud agar kamu bersyukur adalah agar kita menggunakan mata, telinga, dan akal untuk mendapatkan ilmu.

Ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia menjadi lebih unggul dibandingkan makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Hal ini terungkap dalam kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 31-32, yaitu ketika Allah menunjukkan kemampuan Nabi Adam a.s. dalam memahami fenomena alam dihadapan para malaikat.
Oleh sebab itu, apabila kita memiliki ilmu --apapun jenis ilmu tersebut, apakah ilmu kauniyyah (ilmu tentang alam semesta dengan segala fenomenanya) ataupun ilmu diniyyah (ilmu yang berkaitan dengan keagamaan)--, selama ilmu itu bermanfaat bagi kehidupan, berarti kita telah mendapatkan kebaikan dunia. Rasulullah saw. dalam suatu riwayat yang shahih menyebutkan bahwa ada tiga amalan yang akan terus mengalir pahalanya walaupun kita sudah wafat, yaitu, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang selalu mendo'akan orang tuannya, dan shadaqah jariah. Oleh sebab itu, sungguh beruntung kalau ilmu yang kita miliki bermanfaat untuk kehidupan sehingga bisa menjadi amalan yang mengalir pahalanya walaupun kita sudah meninggal.

7. Umur yang Barakah
Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang terikat waktu. Sifat waktu itu dinamis, berjalan terus. Keadaan manusia pun berubah sesuai dengan perjalanan waktu. Contoh sederhana, bulan lalu kita masih mahasiswa, sekarang sudah bergelar sarjana atau bisa juga malah drop out. Tahun lalu bergelar ayah, sekarang menjadi kakek. Jadi, sadar atau tidak, perjalanan waktu akan mengubah kita.

Persoalannya, ke arah mana perubahan itu terjadi? Ada tiga kemungkinan. Siapa yang kualitas amal shaleh hari ini sama dengan kemarin, itulah orang yang tertipu oleh waktu. Siapa yang kualitas hari ini lebih buruk dibandingkan dengan hari kemarin, itulah orang yang terpuruk. Dan siapa yang kondisi hari ini lebih baik dari hari kemarin, itulah orang yang mendapat rahmat.

Ciri orang yang mendapat kebahagiaan dunia adalah orang yang selalu berusaha agar hari ini lebih baik dari kemarin. Selalu berusaha mengisi umurnya dengan hal-hal yang bermanfaat. Itulah yang disebut umur yang barakah. Makin bertambah umurnya, makin meningkat pula amaliah shalehnya. Sehingga ketika Allah swt. memanggilnya, ia berada di klimaks keshalehan.

Mencermati analisis di atas, bisa disimpulkan, ketika kita memohon “Ya Allah berikan kepada kami kabahagiaan dunia,” berarti kita meminta minimal tujuh kebaikan, yaitu hati yang syukur, jodoh yang shaleh, anak yang jadi penyejuk hati, lingkungan pergaulan yang baik, harta yang halal, ilmu yang bermanfaat, serta umur yang barakah.

Lalu, apa yang dimaksud, “Ya Allah, berikan kepada kami kebahagiaan akhirat dan jauhkan kami dari adzab neraka?” Kebahagiaan akhirat adalah Ridha Allah dan surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Maidah ayat 119,
“ . . . Bagi mereka surga yang penuh kenikmatan; mereka kekal di dalamnya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap Allah. Itulah keberuntungan yang sangat besar.”
Semoga Allah swt. memasukkan kita dalam surga yang penuh kenikmatan. Amiin.
Wallahu A'lam
sumber: Ustad.Aam Amirudin
gambar:
www.karangkraf.com.my

No comments: